Di Jatigede, Dila Memunguti Batu dan Menangis


Potongan film "Salam Dari Anak-Anak Tergenang", kisah anak-anak korban penggenangan Waduk Jatigede Sumedang.

Proses pembuatan film dokumenter Salam dari Anak-anak Tergenang membawa kesan pilu di batin 47 kru film pendek. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Film itu bertutur tentang kisah anak-anak di Jatigede yang harus kehilangan tempat tinggal karena kampung mereka ditenggelamkan proyek waduk. 

"Film ini menghabiskan waktu delapan bulan. Tiap kami pulang, mereka (anak-anak Jatigede) selalu menangis. Jadi, meski mereka berlari, bermain dengan ceria, sebenarnya hati mereka bersedih," ujar sutradara film, Gilang Bayu Santoso, kepada Kompas.com di Bandung, Jumat (18/9/2015). 

Menurut salah satu kru, Rini Nur Mega, persoalan Jatigede sudah mereka dengar sejak usia "nol bulan". Hal itu menempel di alam bawah sadar mereka dan memengaruhi psikologis mereka. Karena itu, meski masih kecil, anak-anak ini ikut merasakan kepedihan yang dirasakan orang dewasa sekelilingnya. 

Rini bertutur tentang sosok gadis kecil bernama Dila. Bocah kelas IV SDN Cipaku itu dengan lancar bisa menggambarkan bagaimana kepedihannya. Bahkan, adik Dila yang masih sangat kecil mengetahui soal Jatigede. 

Namun, di tengah kepedihannya, Dila tetaplah anak kecil. Ia masih sering bermain dengan teman-temannya dengan ceria. 

Sepulang mengaji, mereka kadang mampir ke kontrakan kru pembuat film. Mereka mengerjakan PR bersama, membagi penghapus yang diberikan kru, atau bermain-main seperti biasa. 

Namun, kebiasaan Dila ini berubah ketika teman-temannya satu per satu meninggalkan Cipaku untuk tinggal di tempat baru. Sementara itu, orangtua Dila belum bisa pindah kaarena "uangkadeudeuh" sebesar Rp 29,3 juta dari pemerintah hanya cukup untuk membeli tanah dan rangka bangunan. 


Dok Satu Lensa
Potongan film "Salam Dari Anak-Anak Tergenang", kisah anak-anak korban penggenangan Waduk Jatigede Sumedang.

Memungut batu

Melihat kenyataan itu, Dila sempat menangis dan mengamuk karena belum bisa pindah. Hingga akhirnya, Dila kini memiliki kebiasaan baru. 

Sepulang mengaji, ia mendatangi reruntuhan bangunan. Ia memunguti batu bata dan tangannya yang kecil berupaya sekuat tenaga memisahkan batu bata dari semen. 

"Dia mungutin batu bata untuk membangun rumahnya yang baru. Anak sekecil itu," ucap Rini sambil menangis. 

Orangtua Dila bekerja sebagai petani dan guru mengaji. Mereka hanya memiliki satu petak sawah yang cukup untuk hidup satu bulan. Untuk kehidupan bulan-bulan selanjutnya, mereka menggarap sawah milik orang lain. 

"Itulah mengapa mereka saat ini kerap khawatir, setelah Jatigede digenangi, apa mereka sanggup membeli beras," tuturnya. 

Kepedihan Dila, sambung Rini, tergambar dalam bagian akhir film dokumenter tersebut. 

"Saat itu, kru hanya membiarkan Dila berdua dengan kamera dalam keadaan hidup. Begitu kami lihat hasilnya, kami kaget, Dilanangis. Emosinya sangat terasa," ungkapnya. 

Dari film yang diperlihatkan kepada Kompas.com, adegan Dila menangis disimpan di bagian akhir yang menjadi klimaks dan akhir cerita. Ditemani suara kodok, jangkrik, dan indahnya pemandangan sawah, Dila mengatakan kalimat pertamanya. 

"Saya sedih." 

Ia lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis. Setelah itu, Dila bercerita kesedihannya berpisah dengan guru, sawah yang indah, dan teman-temannya. 

Ia berjanji akan menjadi anak pintar, berbakti, sayang kepada orangtua. Ia juga akan mendoakan orangtua dan semoga Tuhan mengabulkan cita-citanya menjadi seorang guru. (kompas.com)