Curhat Pada Suami Orang?




“Ya, mengapa dia selalu curhat pada suamiku? Mengapa bukan pada yang lain, Vy?” tanya seorang teman pada saya lewat telepon pagi ini. Saya dapat merasakan kegundahannya.
“Ini bukan yang pertama lho. Ada apa aja tuh perempuan curhatnya selalu sama suamiku,” tambahnya lagi berapi-api.

“Dia punya suami?”

“Sudah cerai. Tapi punya anak dari suaminya…aku kesal banget Vy! Kenapa sih perempuan itu nggak curhat sama saudara atau sahabat perempuannya yang lain…atau curhat pada teman cowoknya yang belum beristri kek…,” katanya hampir menangis.

Saya jadi ingat teman saya Ra. Beberapa waktu lalu rumah tangganya sempat goyang karena hal yang mirip. Ada teman perempuan suaminya yang curhat pada sang suami mengenai kasus hutang suami perempuan itu. Begitu “menderita”nya perempuan tersebut hingga suami Ra pun simpati. Lama kelamaan mereka jadi tambah dekat, apalagi ketika kemudian perempuan itu cerai dengan suaminya. Keadaan bertambah kacau buat Ra karena suami Ra lantas lebih suka curhat dengan perempuan itu ketimbang dengan istrinya sendiri dan mulai mengeluarkan sejumlah uang untuknya….Alhamdulillah pernikahan mereka yang sudah lebih dari sepuluh tahun itu bisa diselamatkan.

“Kamu tahu darimana tentang perempuan itu?” tanya saya.

“Dari sms-sms di HP suamiku,” tuturnya seraya mengatakan ia terinspirasi dari lagu “Sms Siapa” yang lagi booming kini. “Terpaksa…,” tambahnya.

“Mungkin dia cuma cerita, Mbak. Jangan curiga dulu,” kata saya meredakan. “Mungkin kita malah harus bersyukur pada Allah karena banyak orang yang percaya pada suami kita….”

“Aku belajar dari pengalaman banyak teman lain, Vy. Awal gangguan dalam rumah tangga mereka ya dari curhat-curhat nggak mutu dan salah arah seperti ini….coba, nggak mungkin orang curhat kalau nggak ada simpati…dan kalau sudah simpati…mudah kok mengembangkannya menjadi cinta! Kalau “digoda” terus dengan cara begini lama-lama suami kita kan bisa berpaling! Lihat saja, dia bisa meminjamkan bahkan memberikan uang pada perempuan itu tanpa bicara dengan kita! Lalu…bagaimana kalau kita ditinggalkan?”

Saya menarik napas tak panjang. Jadi ingat, suami saya juga sering jadi tempat curhat teman lelaki maupun perempuan. Saya selalu berprasangka baik. Suami saya itu kan cerdas, baik, pergaulannya luas, mungkin memang ia bisa sedikit membantu curhat yang berseliweran itu, membantu memecahkan atau memberi jalan keluar….Tapi saya tidak mungkin lupa bahwa saya juga pernah cemberut ketika ada seorang janda yang malam-malam telpon minta saran soal mantan suaminya. Malah telponnya lama sekali. Hampir satu setengah jam! Padahal perempuan itu kenal saya! Kenapa bukan bicara dengan saya ya? Untunglah suami saya dengan tegas berkata pada perempuan tersebut, “Nanti kalau mau cerita soal seperti ini dengan istri saya saja. Kayaknya dia bisa lebih banyak membantu daripada saya!”

Hening di telepon.

“Tanya aja deh Mbak baik-baik pada suami, tanpa nada curiga,” usul saya. “Tawarkan juga persahabatan dengan perempuan itu hingga selanjutnya kalau mau curhat, suami mbak bisa mengusulkan agar perempuan itu bisa curhat pada istrinya, pada Mbak. Atau bisa juga perempuan itu curhat pada kalian berdua. Kan lebih bagus….”

“Aku takut suamiku marah….”

Hmmmm yang begini nih….

“Kalau baik-baik…, masak doi marah sih mbak?”

Hanya terdengar suara tangisan.

“Udah, datang ke sini sekarang, Mbak. Curhat sama aku sambil buka puasa di sini! Jangan nangis gitu dong….”

Angin berhembus lebih kencang siang ini, di halaman rumah saya yang panas.