DUA puluh lima tahun lamanya Michael Wolfe berkelana kesana kemari, mencari sesuatu dalam hidupnya. Wolfe dibesarkan di Amerika dengan lingkungan yang sangat pluralis. Di usi 20 tahunan, ia pergi ke Afrika. Di negeri eksotik nan indah itu, ia tinggal selama tiga tahun. Di situ ia mengenal orang Arab, Berber, dan orang Eropa. Yang pasti, Wolfe dikelilingi oleh budaya materialistis.
Ayah Wolfe seorang Yahudi; ibunya Kristen. Namun pada usia 20 tahunan pula, Wolfe merasa kedua agama orang tuanya bukanlah apa-apa baginya.
Malang melintang, akhirnya Wolfe berkenalan dengan Islam di Maroko. Ia punya segalanya, namun jiwanya kering. Ia haus akan keyakinan prinsipil seorang insane manusia, agama. Tapi agama apa? “Agama yang saya inginkan harus bersifat metafisika karena metafisika adalah ilmu pengetahuan. Agama itu tidak akan dibatasi oleh rasionalisme sempit atau lalu lintas misteri untuk menyenangkan para imamnya. Tidak akan ada imam, tidak ada pemisahan antara alam dan hal-hal kudus. Tidak akan ada perang terhadap daging,” ujar Wolfe ketika itu, seperti dikutip dari onislam.
Mulailah Wolfe, yang berprofesi sebagai penulis itu, belajar tentang Islam. Semakin ia memelajari Islam, semakin tampak Islam sesuai dengan apa yang ia cari.
Tanggapan pertama datang dari rekan-rekannya. “Mereka terkejut dengan minat baru saya,” tutur Wolfe.
Akhirnya, setelah benar-benar yakin, Wolfe menyatakan masuk Islam.
“Sebagai seorang mualaf, saya merasa berkewajiban untuk pergi ke Mekkah. Sebagai seorang yang sangat gila jalan-jalan, saya tidak bisa lagi membayangkan tujuan yang lebih menarik selain pergi ke Mekkah,”ujar Wolfe.
Wolfe telah membaca tentang Islam; ia adalah jamaah masjid dekat rumahnya di California; ia sudah mulai mempraktikkan kehidupan seorang Muslim. “Sekarang saya berharap untuk memperdalam apa yang saya pelajari dengan merendam diri dalam agama Islam yang menanamkan setiap aspek eksistensi,” tutur Wolfe.
Baiklah Wolfe, selamat datang dalam Islam! [s/islampos]