Sumber gambar swissarmylibrarian.net
Ketika kaum moralis menghujat si pembuat link video porno yang tersebar di jejaring sosial Facebook, dalam hati saya malah bersyukur. Kok bisa? Ya bakal terlihat itu (akun) orang yang benar-benar shalih/ah dengan (akun) orang yang sok shalih/ah.
Ya bagus sih kalau marah ketika melihat kemaksiatan itu. Begitu seharian banyak sekali tersebar link hot itu, langsung saja si moralis protes sejadi-jadinya: Apa ini fesbuk kok isinya cuma video porno! Lalu memposting dalil agama soal video porno. Macam-macam dalil pun dikeluarkan: soal aurat, soal pandangan mata, soal berpikiran jernih, soal jernih hati, soal dosa zina mata, dan macam-macam dalil lainnya.
Itu bagus, good job. Alhasil, dinding Facebook semacam jadi medan perang luar biasa. Perang antara yang (merasa) haq dan yang (dituduh) batil. Suguhan tayangannya—kalau dilihat isi wall Facebook dari atas ke bawah—itu rentetan link video porno lalu berjejer dalil-dalil yang menghakiminya. Aduuh… mamah sayange. Masalahnya, apakah hanya dengan menghujat lalu para penyebar link itu bakal menghentikan penyebarannya?
Oh ternyata tidak, sebab link itu tersebar secara otomatis. Viral. Pakai mesin nyebarnya, lha tidak bakal mempan dikasih dalil. Ya maksudnya yang disuguhi dalil itu teman-teman di beranda, kan? Biar mereka tidak ikut-ikutan menyebarkan. Lha itu kan malware, sudah banyak orang yang tahu itu virus.
Tapi jangan semata-mata menyalahkan virus. Saya lebih suka menyebutnya jebakan iman. Itu ada manfaatnya. Itu nguji iman kita. Siapa yang berhasil melompati jebakan itu bakal aman. Siapa yang coba-coba mengeklik jebakan itu pastilah terjerembap dan masuk ke lubang kehinaan. Meski pada akhirnya menyadari, dan tergopoh-gopoh mengklarifikasi dengan membuat postingan: Maaf temen-temen, akun saya kena hack. Jadi nyebar link video itu.
Ya ampun mas akhi/mbak ukhti, teman-teman mah sudah tahu kalau link itu tersebar ya gara-gara you mengekliknya. Di situlah iman diuji. Kalau sudah terjebak, sudah khilaf berniat nonton itu video, ya beristighfar sajalah. Lalu minta maaf sajalah. Tanpa menyeret kambing hitam. Kasian kan, kambing hitam dijadikan tumbal melulu.
Begitu. Damai kan. Tapi ya memang bisa jadi akan ada orang yang bilang, “Lha apa nggak malu mengakui sudah ngeklik link video porno?”
Biar saja. Kenapa harus malu? Salah tempat malunya itu. Justru malu itu saat berbohong ke publik bahwa itu bukan perbuatan kita. Harusnya malu itu dimulai saat hendak ngeklik link itu. Sebab al haya’u minal iman, malu itu sebagian dari iman. Konteksnya malu sebelum berbuat maksiat lho ya; malu kalau hendak berbuat maksiat. Karena masih punya malu, ya tidak bakal ngeklik. Begitu kan?
Malu menjadi pedal rem. Sebab masih punya malu itu, kita ngerem untuk berbuat maksiat. Malu itu seperti radar iman. Begitu sinyal iman kuat, ada maksiat pasti kita ingin langsung menghindar. Sebab orang yang beriman pastinya bakal tidak nyaman kalau berbuat maksiat, bahkan berniat pun tidak.
Jika sudah kadung kejadian, mengakui kesalahan itu sungguh mulia, sembari beristighfarlah agar terhapus dosa. Di sisi lain, kawan-kawan tidak perlulah menistanya begini-begitu, apalagi sembari bermaksud merayakan kemuliaannya sendiri.
Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Hasan al-Bashri, “Manusia itu sama dalam watak kebiasaannya. Jika turun ujian (stimulus; jebakan iman) kepadanya, maka akan terlihat perbedaan kualitas mereka.”
Klop sekali sama teori Skinner soal perilaku. Ia katakan kalau perilaku sebagai respons (reaksi) seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Seperti rangsangan video hot yang menari-meliuk menggoda-goda iman itu. Kalau rasa malu kita lebih besar, pastilah respons kita menolaknya. Refleks pedal rem terinjak. Aman sudah. Selamat.
Jadi malunya kita harusnya sama Allah saja. Ihsan itu namanya. Malu kalau dilihat sama Tuhan kalau ngeklik video adegan begituan. Bukan malu sama manusia; bukan malu sama teman-teman. Meski pahit banget aib sendiri sudah terlanjur tersebar, ditelan sajalah. Akui kesalahan, minta maaf. Selesai. Berani?
Sumber: Dwi Suwiknyo